ZIARAH DALAM PERSPEKTIF HADIST (HADITS TEMATIK).

Oleh: Zainul Arifin, Zubaidah, Tiyola Akfania, Nur Akmal Bosu

Pendahuluan
Ziarah adalah salah satu praktik sebagian besar umat beragama yang memiliki makna moral yang berbeda dan sangat penting dalam kehidupan beragam. Kadang kala ziarah dilaksankan kesuatu tempat-tempat yang suci dan dan penting bagi keyakinan mereka dan iman mereka. Tujuan melakukan ziarah tentung nggak jauh berbeda antara satu agama dengan agama yang lain yakni untuk mengingatkan kembali, untuk meneguhkan keimanan yang dimilikiatau untuk menyucikan diri, orang melakukan hal ini disebut dengan peziarah.
Dari kalimat diatas sangat jelas bahwa ritual berziarah bukan hanya dimiliki oleh agama Islam saja akan tetapi semua agama memiliki ritual berziarah, hanya saja tujuan dan tempat-tujuannya berbeda dan tentunya amalan-amalannya juga berbeda. Seperti halnya agama Budha mereka berziarah ke Kavilavastu dan Bodh Gaya yang dimana ini sebuah kediaman tempat bernyayi pemeluk agama Budha sekaligus tempat mendapat pencerahan benares dan kusiagara. Pemeluk agama Khatolik juga memiliki tujuan atau objek beriziarah seperti mengunjungi Nazaret sampai bukit Golgata bahkan Sendangsono yang berada diwilayah Djogjakarta. Pemeluk agama Islam tentu memiliki tempat-tempat suci yang dijadikan sebagai objek berziarah seperti Makkah dan Madinah, khusunya makam Nabi saw dan makam para sahabat yang berada disana.
Namun dalam hal ini kami akan membahas mengenai makna dari kata “ziarah” itu sendiri, karena masyarakat saat ini lebih mengidentikkan kata ziarah hanya sebatas ziarah kubur semata namun pada hakikatnya yang termaktub dalam kitab-kitab hadits banyak sekali makna dari kata ziarah, mulai berziarah kekubur, zeiarah perempuan kepada suaminya yang sedang I’tikaf, ataupun ziarah kepada keluarga atau kerabat. Hal tersebut juga dikatakan sebagai makna kata ziarah. 
Pengertian ziarah
Sebelum masuk ke pembahasan tentang pengertian dari kata ziarah, perlu diketahui bahwa alasan pertama kami mengangkat suatu terma tentang ziarah ini yakni mengingat perkembangan zaman yang sangat pesat sehingga pemahaman tentang makna-makna yang banyak terkadang hanya diartikan adan hanya dipahami dengan satu makna saja, seperti halnya kata ziarah ini, kata ziarah ini dalam lingkungan masyarakat disekitar kami bahwa kebanyakan orang hanya mengidentikkan kata ziarah hanya berkunjung ke kubur saja tanpa memaknai dengan kata yang lain, dengan demikian kami akan mencoba mengungkapkan makna kata ziarah melalui pendekatan hadits tematik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Ziarah berarti kunjungan ke tempat-tempat yang mengandung kekeramatan atau kemuliaan (makam, mulia, dan lain sebagainya), dengan tujuan untuk mengirim doa. Kata ziarah diambil dari bahasa arab Ziaroh secara harfiyah kata ziaroh ini berarti kunjungan baik kepada orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal. Sedangkan secara teknis kata ziaroh berarti serangkaian aktivitas mengunjungi tempat tertentu atau makam tertentu yang dianggap mulia.  
Ziarah kubur adalah salah satu tradisi yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia sejak lama. Sebagian umat muslim Indonesia melakukan ziarah kubur. Baik kemakam leluhur mereka atau para wali, ulama, kiyai dan orang sholeh. Ziarah kubur leluhur biasanya diadakan setiap malam jumat legi atau minimal setiap menjelang ramadhan dan setelah pelaksanaan hari raya idul fitri. Sementara ziarah ke makam Wali Songo dan para wali yang lain saat itu bahkan sudah menjadi salah satu bentuk bisnis kalangan agen perjalanan.
Pembahasan
Hadits-hadits yang membahas ziarah
Ziarah kubur
Larangan ziarah kubur
106 - (977) حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ نُمَيْرٍ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، - وَاللَّفْظُ لِأَبِي بَكْرٍ وَابْنِ نُمَيْرٍ - قَالُوا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ أَبِي سِنَانٍ وَهُوَ ضِرَارُ بْنُ مُرَّةَ، عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا، وَنَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَأَمْسِكُوا مَا بَدَا لَكُمْ، وَنَهَيْتُكُمْ عَنِ النَّبِيذِ إِلَّا فِي سِقَاءٍ، فَاشْرَبُوا فِي الْأَسْقِيَةِ كُلِّهَا، وَلَا تَشْرَبُوا مُسْكِرًا» قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ فِي رِوَايَتِهِ: عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu Syaibah] dan [Muhammad bin Abdulalh bin Numair] dan [Muhammad bin Al Mutsanna] -sedangkan lafazhnya milik Abu Bakar dan Ibnu Numair- mereka berkata, telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Fudlail] dari [Abu Sinan] -ia adalah Dlirar bin Murrah- dari [Muharib bin Ditsar] dari [Ibnu Buraidah] dari [bapaknya] ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dahulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur, maka sekarang ziarahilah. Dahulu aku melarang kalian untuk menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari, maka sekarang simpanlah selama jelas bagimu manfaatnya. Dahulu aku melarang kalian membuat anggur selain dalam qirbah, maka sekarang minumlah dari segala tempat air, asal jangan kamu minum yang memabukkan." Ibnu Numair berkata dalam hadits yang diriwayatkannya; Dari [Abdullah bin Buraidah] dari [bapaknya]. 
Hadits ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadits yang mengumpulkan Nasikh dan mansukh dan ini merupakan hafits yang shorikh dalam penasikhannya, bahwa laki-laki dilarang utuk berziarah kubur dan merekapun berkumpul. Bahwa mereka melakukan ziarah hanya satu kali dalam setahun, sedangkan perempuan itu berbeda karena para sahabat itu lebih dulu mendahuluinya dan bahwasanya perempuan itu memang sudah dilarang untuk berziarah kubur. Kemudian salah saatu perempuan berkata: “seorang perempuan tidak bisa memasuki khitobnya seorang lai-laki, dan hadits ini merupakan hadits yang Sho>rih menurut ulama’ Ushulyyin.
Anjuran ziarah kubur
1572 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ كَيْسَانَ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرَ أُمِّهِ، فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ، فَقَالَ: «اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا، فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِي أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي، فَزُورُوا الْقُبُورَ، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْمَوْتَ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakr bin Abu Syaibah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ubaid] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yazid bin Kaisan] dari [Abu Hazim] dari [Abu Hurairah] ia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menziarahi kuburan ibunya, beliau menangis hingga menjadikan orang-orang yang ada di sekitarnya ikut menangis. Beliau lalu bersabda: "Aku minta izin Rabbku untuk memintakan ampun bagi ibuku namun Ia tidak memberiku izin. Lalu aku minta izin untuk menziarahi kuburnya dan Ia memberiku izin. Maka ziarahilah kuburan karena hal itu dapat mengingatkan kepada kematian”.
Sandi berkata, pada lafadz zu>ru al-Qubura memiliki arti perintah yang diperbolehkan, keringanan dan kesunahan, sebagaiman adanya dalil pertimbangan.
Hadits diatas berlaku terhadap laki-laki atau perempuan, dan ada pendapat lain dikhususkan untuk laki-laki maknanya yang secara zha>hir, akan tetapi didalam hadits tersebut telah dijelaskan hukumnya secara umum kecuali adanya hak seseorang untuk mencegah (perempuan) karena adanya kemungkinan perempuan itu selalui lalai.
Sebagaimana yang tertera dalam hadits diatas yakni kebolehan melakukan ziarah kubur, bahwasanya Rasullulah Saw pada awalnya memang melarang ziarah kubur, akan tetapi pelarangan ini dengan seiring berjalannya waktu tidak lama bertahan atau ada hadits yang menasikh, dan ketika hadirnya kondisi-kondisi yang memungkinkan pada tahun ke-7 Hijriyah di Hudaibiyah, Rasulullah Saw setelah menziarahi ibu tercinta beliau, memperbaiki kuburannya, dan menangisinya sehingga membuat orang-orang Muslim yang bersamanya sedemikian terpengaruh dan mengucurkan air mata. Rasulullah Saw bersabda: “Allah Swt telah memberikan izin kepada Muhammad Saw untuk menziarahi ibunya… Rasulullah Saw dalam kelanjutan sabdanya, "Dahulu aku telah melarang kalian menziarahi kubur, akan tetapi kini kalian pergilah untuk menziarahi kubur”.
Melihat history awal syariat Islam disebarkan, bahwa umat-umat terdahulu itu memiliki iman yang sangat lemah, hal inilah yang membuat atau yang melatar belakangi Rasulullah saw melarang umatnya melakukan ziarah kubur. Namun, seiring dengan berkembangnya syarit islam dan iman umat sudah kuat dan mereka mengetahui sseluk beluk hukum melakukan ziarah beserta tujuannya akhirnya ziarah kubur itu dianjurkan oleh Naabi Muhammad saw. Bahkan menurut keyakinan Islam sendiri pekerjaan ziarah sendiri merupakan perbuatan yang sanngat baik yang bernilai ibadah dan dipercaya sebagai pembawa keberkahan baik dunia maupun akhirat.

Orang yang datang menziarahi kubur orang-orang musyrik  
1569 - حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «زُورُوا الْقُبُورَ؛ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid dari Yazid bin kaisan] dari Abu Hazim] dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ziarahilah kubur, sesungguhnya ia dapat mengingatkan kalian dengan akhirat”.
Hadits diatas berbicara tentang berziarah ke kubur non- muslim, Nabi Muhammad saw membolehkan berziarah kemakam seorang non-muslim dengan tujuan agar umat manusia diduni ingat akan kematian dan akhirat, menurut Zakariya al-Anshari dalam keterangan kitabnya Fathul Wahhab bahwa hukum menziarahi kubur orang kafir (Non-Muslim hukumnya adalah Mubah (diperbolehkan). Jika menziarahi kubur orang kafir atau Non-Muslim saja diperbolehkan maka logikanya adalah menziarinya ketika masih berada didunia atau masih hidup itu merupakan hal yang paling utama, tentunya hal tersebut akan memperkokoh tali persudaraan anatar umat muslim dan Non-Muslim di dunia, silaturrahmi, dan khususnya di negara Indonesia ini yang yang memiliki keberagaman agama, suku, bangsa dan budaya
Prinsip hidup yang baik didalam kandungan hadits diatas adalah bahwa perbedaan keyakinan tidak bisa dijadikan sebagai suatu alasan untuk memutuskan tali persaudaraan antar umat beragama dan persaudaraan antar bangsa dan buadaya. Berziarah, berkunjumg ataupun bersilaturrahim, dalam hal ini merupakan kunjungan atau pertemuan seseorang kepada orang lain, kerabat maupun bukan kerabat, namun makna silaturrahim menurut syariat adalah berbuat baik kepada kerabat dengan berbagai macam bentuk kebaikan sebagaimana yang telah diajarkan sejak zaman Rasulullah saw hingga sampai saat ini.
Rasulullah saw sangat benci terhadap orang-orang yang memutuskan silaturrahim bahkan Rasululullah saw mengancam orang-orang yang memutuskan tali silaturrahim sebagaimana sabdanya; “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan kekerabatan”, artinya memutuskan tali persaudaraan merupakan dosa besar dan merupakan tembok atau penghalang bagi seorang yang ingin masuk surga.
Ziarah ke baitullah 
3059 - حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ أَبُو بِشْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ طَارِقٍ، عَنْ طَاوُسٍ، وَأَبُو الزُّبَيْرِ، عَنْ عَائِشَةَ، وَابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «أَخَّرَ طَوَافَ الزِّيَارَةِ، إِلَى اللَّيْل.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Bakar bin Khalaf Abu Bisyr]; telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sa'id]; telah menceritakan kepada kami [Sufyan]; telah menceritakan kepadaku [Muhammad bin Thariq] dari [Thawush] dan [Abu Zubair] dari [Aisyah] dan [Ibnu Abbas] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengakhirkan thawaf ziyarah hingga malam hari. Al-busiri berpendapat hadist ini merupakan hadist mursal. Tapi di riwayt lain mengatakan ini hadist marfuk”. 
Al- sindi berpendapat adanya hadist di atas itu merupakan suatu ketetapan dari pekerjaan nabi Muhammad SAW, bahwasannya thawaf ifadhoh itu merupakan tawaf fardu sebelum malam hari, kemungkinan yang di maksud dari hadist ini adalah suatu keringanan di dalam mengakhirkan tawaf sampai batas nya sampai malam hari. Atau thawaf zia>dah bukan tawaf ifadhah. Yang di maksud ziarah ke baitullah itu hari-hari nya di mina setelah melaksanakan tawaf Ifadhoh, sesorang yang mengakhirkan tawaf sampai malam hari itu di sebabkan seseorang itu mengakhirkan kunjungannya sampai malam hari, seperti seseorang yang tidak pergi ke makkah untuk bertujuan ziarah pada siang hari setelah asar.
Berbicara tentang waktu pelaksanaan thawaf ifadhoh alangkah baiknya kita harus mengetahui apa itu Thawa>f Ifa>dhoh. Thawa>f Ifa>dhoh merupakan salah satu macam Thawa>f dari beberapa macam-macam Thawa>f, dan sekaligus merupakan salah satu dari beberapa rukun haji yang apabila ditinggalkan akan dapat membatalkan haji seseorang atau rukun haji yang menyempurnakan haji seseorang. Yang dimana waktu pelaksaan yang paling utama ialah pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah melakukan jumrah aqabah dan tahallul. Sedangkan waktu lainnya ialah setelah tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah tersebut, atau sesudah terbit fajar di tanggal 10 Dzulhijjah, atau sesudah keluar matahari pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dalam melaksanakan Thawaf ini tidak ada batasan waktu untuk melakukannya. Akan tetapi alangkah baiknya seorang yang melakukan ibadah haji agar supaya melakukan Thwaf ini sebelum berakhirnya hari-hari Tasyriq. Hal ini juga telah jelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 196: 
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ
Artinya: “dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah swt, jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena jatuh sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat”
Hal ini juga ditegaskan oleh imam al-Nawawi dalam kitab syarahnya al-Majmu’ Syarah al-Muhadzzab  yang menjelaskan bahwa merupakan rukun haji sebagaimana ijma’ ulama dan akhir waktu pelaksanaanya tidak terbatas:
وهذا الطواف ركن من أركان لا يصح إلابه بإجماع الأمة......قد ذكرنا لاآخر لوقت طواف الإفاضة بل يصح مادام حيا لكن يكره.
“Thawaf ini (thawaf ifadhoh) merupakan salah satu rukun haji tidak sah haji tanpa adanya thawaf ifadhoh berdasarkan ijma’ (konsensus ‘Ulama).......telah kami sebutkan bahwasanya tidak ada batasan akhir waktu pelaksanaan thawaf ifadhah, sah dilaksanakan sepanjang hidup namun dengan status makruh
Namun disamping itu, yang menjadi pokok permasalahan dalam pelaksanaan thawaf ifadhoh ini ialah bagaimana jika seseorang yang sedang melaksanakan haji mengalami kendala yakni jatuh sakit?, ataukah ketika seseorang perempuan yang sedang melaksanakan haji terjadi haid, apakah hal tersebut bisa dibadalkan atau diwakili oleh orang lain ataukah tidak?. Seperti kejadian yang telah terjadi terhadap istri Rasulullah saw. Diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra yang menegaskan bahwa seseorang tidak boleh pulang sebelum melaksanakan thawaf ifadhoh, sebagaiman sabdanya:
حَدَّثَنَا أَبُو اليَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، حَدَّثَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، وَأَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَخْبَرَتْهُمَا أَنَّ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَيٍّ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، حَاضَتْ فِي حَجَّةِ الوَدَاعِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَحَابِسَتُنَا هِيَ» فَقُلْتُ: إِنَّهَا قَدْ أَفَاضَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَطَافَتْ بِالْبَيْتِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَلْتَنْفِرْ»
Artinya: ”telah menceritakan kepada kami Abu al-Yaman, telah mengabarkan kepada kami Syuaib,  dari Zuhri ra berkata: Urwah Ibnu Zubair dan Abu Salamah bin Abdirrahman bercerita kepada saya bahwa ‘Aisyah istri Nabi Muhammad saw mengabarkan bahwa Syafiyyah binti Huyayy istri Nabi saw haidh ketika  haji wada’ lalu Nabi saw bersabda: “Apakah ia menahan kita (untuk pulang)? Kemudian aku berkata: “ia telah melakukan thawaf ifadhoh wahai Rasulullah”, dan Rasulpun berkata: “(kalau begitu) dapat pergi”. 
Hadits diatas menjelaskan tentang salah seorang sahabat Nabi bertanya kepada Rasulullah saw ketika terjadi haid terhadap istri Nabi yakni Syafiyyah binti Huyayy yang sedang melakukan ibadah haji, ketika sahabat mengatakan bahwa istri Nabi tersebut telah melaksanakan thawaf ifadhoh maka tidak terhalang apapun dan dibolehkan untuk pulang.
Berbicara tentang badal menurut keputusan MUI badal thawaf ifadhah adalah pelaksanaan thawaf ifadhah merupakan rukun haji yang dilakukan orang lain untuk menggantikan seorang yang sedang berhaji karena sakit atau sesuatu yang lain. Tidak hanya itu menurut keputusan MUI terdapat beberapa ketentuan hukum dalam thawaf ifadhah ini:
Thwaf ifadhah adalah rukun haji yang wajib dilaksanakan oleh seseorang yang sedang menunaikan ibadah haji
Seseorang yang berhaji kemudian tidak melaksanakan thawaf ifadhah maka hajinya tidak sah 
Badal thawaf ifadhah (pelaksanaan thawaf ifadhah oleh orang lain) maka hal tersebut tidak sah
Jamaah hajii yang sakit dan tidak memungkinkan untuk melaksanakan thawaf ifadhah dengan sendiri menggunakan alat bantu (kursi roda, tongkat dan lain sebagainya).
Jamaah haji yang sakit yang oleh dokter dinyatakan tidak memungkinkan untuk melaksanakan thawaf ifadhah, baik dengan sendiri ataupun alat bantu, maka pelaksanaa thawaf ifadhahnya menunggu hingga kondisinya mulai pulih atau memungkinkan
Jamaah haji yang meninggal sebeluum melaksanakan thawaf ifadhah tidak terkena badal thawaf ifadhah (penggantian pelaksanaan thawaf ifadhah oleh orang lain.

Ziarah perempuan terhadap suaminya yang sedang I’tika>f
2038 - حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ خَالِدٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الحُسَيْنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ صَفِيَّةَ، زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ ح وحَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الحُسَيْنِ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي المَسْجِدِ وَعِنْدَهُ أَزْوَاجُهُ فَرُحْنَ، فَقَالَ لِصَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ لاَ تَعْجَلِي حَتَّى أَنْصَرِفَ مَعَكِ، وَكَانَ بَيْتُهَا فِي دَارِ أُسَامَةَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا، فَلَقِيَهُ رَجُلاَنِ مِنَ الأَنْصَارِ فَنَظَرَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ أَجَازَا، وَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَعَالَيَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ» ، قَالاَ: سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ، وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يُلْقِيَ فِي أَنْفُسِكُمَا شَيْئًا».
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Sa'id bin 'Ufair] berkata, telah menceritakan kepada saya [Al Laits] berkata, telah menceritakan kepada saya ['Abdurrahman bin Khalid] dari [Ibnu Syihab] dari ['Ali bin Al Husain radliallahu 'anhuma] bahwa [Shafiyah] isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan kepadanya. Dan diriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami ['Abdullah bin Muhammad] telah menceritakan kepada kami [Hisyam bin Yusuf] telah mengabarkan kepada kami [Ma'mar] dari [Az Zuhriy] dari ['Ali bin Al Husain radliallahu 'anhuma]; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berada di dalam masjid sedangkan isteri-isteri Beliau bersama Beliau dalam keadaan bergembira. Beliau berkata kepada Shafiyah binti Huyyay: "Janganlah kamu tergesa-gesa hendak pulang, tunggulah hingga aku keluar bersamamu". Rumah Shafiyah berada di perkampungan Usamah. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keluar bersama Shafiyah. Kemudian di jalan ada dua orang dari Kaum Anshar yang berjumpa dengan Beliau lalu keduanya memandang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sesaat lalu keduanya meneruskan perjalanannya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada keduanya: "Kemarilah kalian, ini adalah Shafiyah binti Huyay". Maka keduanya berkata: "Maha suci Allah, wahai Rasulullah". Lalu Beliau shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Sesungguhnya syetan berjalan pada diri manusia lewat aliran darah dan aku khawatir telah timbul suatu perasaan pada diri kalian berdua".
Dalam bab ini memiliki dua sudut pandang, yang pertama dari sudut pandang Abdul Rahman bin Khalid bin Musafir itu mrupakan hadist yang mausulah dan yang lain dari Hisyam bin Yusuf dari Muammar ia mengatakan hadist itu merupakan hadist mursalah. Sedangkan yang di maksud dari lafadz “fi anfusikuma” menurut riwayat yang lain adalah “fi kulubikuma” yang artinya adalah di hati kalian berdua. Dan penyandaran lafadz yang mengandung makna jamak pada lafadz yang mengandung makna mutsanna itu banyak di dengar sebagaimana firman allah dalam surah Al-Tahrim ayat 4. 
Hadits ini menjelaskan bahwa Syetan itu berada pada aliran darah manusia jadi itulah sebabnya syetan bisa menguasai manusia. Jika aliran darah manusia itu berjalan dengan cepat, maka syetan akan dengan cepat berjalan pada aliran darah manusia, salah satu sebab kenapa manusia itu bisa mempunyai aliran darah yang sangat cepat yaitu karna kebanyakan makan atau kekenyangan. Yang mana jika seseorang itu makanya banyak otomatis aliran darahnya semakin cepat dan ia tubuhnya akan lemah, jadi itulah salah satu alasan kenapa Rasulullah SAW itu menegur 2 orang kaum Angsor karna beliau takut terjadi hal yang tidak di inginkan dan beliau juga takut kaum angsor ini berfikir kenapa Rasulullah berjalan bersama Shofiyah, disitulah Rasulullah SAW memperjelas bahwa Shofiyah binti Huyay adalah istri ke 11 Nabi Muhammad. Salah satu cara untuk melambatkan aliran darah manusia yaitu dengan mengurangi makan, lalu berpuasa, dan mengurangi sikap negatif kepada orang lain. Kita juga tidak boleh terlalu cepat berburuk sangka kepada orang lain (suudzhon), dan harus banyak husnudzan kepada semua orang.
Ada beberapa faedah yang dapat kita tarik dari kandungan hadits diatas bahwa:
Hadits diatas menunjukakn betapa mulia akhlak Rasulullah saw yang sangat lemah lembut ketika bertemu dengan umatnya, hal itu juga menunjukkan betapa peduli terhadap kemaslahatan umatnya.
Hadits diatas menggambarkan kasih dan sayang Rasulullah saw kepada umatnya adalah keperihatian beliau jika setan sampai mencelakakan hati-hati para umatnya.
Berprasangka buruk (Suudzhon) terhadap seorang Nabi merupakan kekufuran. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama’ (ijma’)
Hadits diatas menunjukkan kebolehan seorang istri menjenguk seorang suami yang sedang I’tikaf di masjid seperti yang dilakukan oleh istri Nabi yang ke-11 yakni Shofiyyah binti Huyayy, kunjungan ini boleh dilakukan pada siang atau malam hari, dan hal kunjungan tersebut tidak sama sekali membatalkan nilai I’tikaf, namun hal tersebut tidak dilakukan sering-sering dikarenakan khawatir akan mengantarkan pada kebatalan ibadah I’tikaf tersebut seperti ijma’ para ulama’ (berhubungan intim).
Hadits ini menjelaskan ataupun menganjurkan kepada umat manusia agar mengedepankan terhadap saudara muslim adalah memberikan ia uzur, bukan mengedepankan sangkaan buruk.
Jika ada seseorang yang hendak melakukan suatu hal yang bisa dinilai orang lain bahwa yang dilakukan tersebut adalah suatu kemungkaran, maka hendaklah memberi penjelasan agar orang tersebut terhidar dari sikap prasangka buruk (Suudzon).
Setiap manusia harus mempersiapkan dirinya dari serangan (makar) setan, karena setan itu menyeluduk disetiap manusia melalui aliran darahnya, artinnya setan bisa menyeluduk ke diri manusia seperti itu karena kehendak Allah SWT. Yaitu Allah SWTT memberikan kekuatan atau kemampuan terhada setan untuk mengalir dalam tubuh manusia melalui aliran darahnya sedemikian itu
Hadits diatas juga menggambarkan kepada manusia atas kebolehan atau anjuran mengulafadzkan kalimat tasbih (Subha>nallah) ketika melihat sesuatu yang mengherankan atau ketika takjub akan keindahan sesuatu, hal ini juga terdalam dalam firman Allah SWT surah an-Nur:
وَلَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ قُلْتُمْ مَا يَكُونُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيمٌ
Artinya: “dan mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohongitu: “sekali-kalitidaklah pantas bagi kita memprkatakan ini, Maha Suci Engkau (ya tuhan kami), ini adalah dusta yang sangat besar”.  
Hadits diatas menunjukkan bolehnya seorang suami yang sedang I’tikaf berjalan bersama istrinya dengan syarat tidak sampai keluar dari masjid, dan hadits diatas tidak menggambarkan mengenai Rasulullah saw keluar dari temapat I’tikafnya yakni masjid itu sendiri.


Ziarah perempuan ke kubur
3236 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُحَادَةَ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ، يُحَدِّثُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَائِرَاتِ الْقُبُورِ، وَالْمُتَّخِذِينَ عَلَيْهَا الْمَسَاجِدَ وَالسُّرُجَ».
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Katsir] telah mengabarkan kepada kami [Syu'bah] dari [Muhammad bin Juhadah] ia berkata; saya mendengar [Abu Shalih] menceritakan dari [Ibnu Abbas] berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat para wanita yang menziarahi kuburan, dan orang-orang yang menjadikannya sebagai masjid dan memberikan pelita”.
   Yang di maksud dari lafadz “Al-Muttakhidina alaiha” adalah kuburan. Dan lafadz “Al-Masa>jida wa as-suruja” yang di maksud dari lafadz ini adalah ke haraman berziarah kubur bagi orang perempuan, dan menjadikan kuburan sebagai masjid, dan menjadikan surujun sebagai kuburan-kuburan. At-tirmidzi berkata sebagian ahli ilmi berpendapat bahwasannya ini merupakan sebelum adanya rukhsah dari nabi Muhammad SAW dalam berziarah kubur, ketika ada rukhsah atau keringanan maka di masukkan keringanan bagi orang laki-laki dan perempuan: dan sebagian ulamak juga berpendapat hanya saja ziarah kubur bagi orang perempuan itu merupakan yang yang kurang di sukai.
Sebenarnya ziarah kubur yang jauh dari tuntunan Islam atau ziarah kubur yang tata caranya bertentangan dengan syari’at islam adalah ziarah kubur yang dilakukan oleh para pelaku syirik, ataupun sejenis ziarah kubur yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani. Mereka bertujuan membaca doa pada si mayyit dan beristi’anah (meminta tolong) melalui mayyit yang ada di dalam kubur. Berbagai hajat diminta melalui perantaraan penghuni kubur, Mereka pun shalat di sisi kubur dan berdoa melalui perantaraan si mayyit. Perdebatan semacam ini sama sekali tidak pernah dilakukan oleh ulama masa silam dan para imam besar. 
Berbicara tenang hadits larangan berziarah bagi perempuan diatas memang dalam hal ini ulama berbeda pendapat, ada yang memperbolehkan dan ada juga yang mengharamkan, terkait dengan ulama yang memperbolehkan berziarah bagi perempuan memang tidak terlalu sering kita dengar bahkan kami temukan hanya satu hadits yang memperbolehkan yang artinya “Aku dahulu pernah melarang kalian ziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah kalian”.
Keumuman lafadz “maka (sekarang) ziarahlah kalian” mencakup para kaum hawa juga, karena ketika Nabi saw melarang berziarah kubur pada masa awal Islam, maka hal demikian mencakup laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, kekita Nabi saw bersabda “maka (sekarang) ziarahlah kalian” dapat kita sama-sama pastikan bahwa yang dimaksud dalam sabda beliau mencakup kedua jenis tersebut yakni laki-laki dan perempuan, ketika hanya diperuntukkan kepada kaum adam saja maka kalimatnya akan terasa janggal. Namun hal yang seperti ini mustahil terjadi pada seorang yang telah dianugrahi Jawa>mi’ alKali>m.

Ziarah hari terlarang
1732 - وَقَالَ لَنَا أَبُو نُعَيْمٍ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا «أَنَّهُ طَافَ طَوَافًا وَاحِدًا ثُمَّ يَقِيلُ، ثُمَّ يَأْتِي مِنًى، يَعْنِي يَوْمَ النَّحْرِ» وَرَفَعَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ.
Artinya: “Dan telah berkata, kepada kami [Abu Nu'aim] telah menceritakan kepada kami [Sufyan] dari ['Ubaidullah] dari [Nafi'] dari [Ibnu'Umar radliallahu 'anhuma] bahwa dia melaksanakan thawaf satu kali saja kemudian qailulah (tidur sebentar di siang hari) kemudian mendatangi Mina pada hari Nahar". Hadits ini dimarfu'kan oleh ['Abdur Razaq], telah mengabarkan kepada kami ['Ubaidullah].
Dalam hadits diatas yakni membahas masalah berziarah atau bepergian pada hari Nahr (hari-hari terlarang), diakhir kalimat hadits diatas terdapat tambahan kalimat yang disebutkan oleh Ibn Umar yang mana Rasulullah pernah melakukannya, dan didalam hadits tersebut ada suatu peringatan atau nasihat agar supaya kembali ke Mina setelah waktu qailulah (tidur sebentar di siang hari) pada hari Nahr, adapun ketetapan sesungguhnya agar keluar dari kota Mina ke keota Makkah untuk  melaksanakan atau melakukakn thawaf  sebelum masuk hari Nahr.
Ibnu Hajar al-Atsqolani menyebutkan dalam kitabnya ada hadits Abi Salamah bahwasanya Syaidah Aisyah berkata “kami melaksanakan haji bersama Nabi Muhammad Saw dan melakukan towaf ifadhoh pada hari nahar”. 
Apabila kita pokus terhadap apa yang telah disampaikan Ibnu Hajar al-Atsqolani dalam kitabnya adalah yang dimaksud dalam Thawaf dalam hadits ke 6 tersebut adalah Thawaf Ifa>dhoh. Dalam hal ini, seperti yang kita ketahui bersama bahwa Thawa>f Ifa>dhoh merupakan salah satu macam Thawa>f dari beberapa macam-macam Thawa>f, dan sekaligus merupakan salah satu dari beberapa rukun haji yang apabila ditinggalkan akan dapat membatalkan haji seseorang. Yang dimana waktu pelaksaan yang paling utama ialah pada tanggal 10 Dzulhijjah setelah melakukan jumrah aqabah dan tahallul. Sedangkan waktu lainnya ialah setelah tengah malam tanggal 10 Dzulhijjah tersebut, atau sesudah terbit fajar di tanggal 10 Dzulhijjah, atau sesudah keluar matahari pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dalam melaksanakan Thawaf ini tidak ada batasan waktu untuk melakukannya. Akan tetapi alangkah baiknya seorang yang melakukan ibadah haji agar supaya melakukan Thwaf ini sebelum berakhirnya hari-hari Tasyriq. 
Artinya bagi orang yang melaksanakan haji harus melaksanakan Thawaf Ifa>dhah sebelum datangnya hari-hari yang di larang (hari- hari tasyrik), apabila ada seseorang yang melaksanakan towaf ifadzah sampai hari-hari yang di larang (tasyrik) maka itu merupakan suatu keringanan (rukhsah) bagi mereka para ummat Muslim yang sedang melaksanakan haji.  

Imamah za>ir
596 - حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا أَبَانُ، عَنْ بُدَيْلٍ، حَدَّثَنِي أَبُو عَطِيَّةَ، مَوْلًى مِنَّا، قَالَ: كَانَ مَالِكُ بْنُ حُوَيْرِثٍ، يَأْتِينَا إِلَى مُصَلَّانَا هَذَا، فَأُقِيمَتِ الصَّل َاةُ فَقُلْنَا لَهُ: تَقَدَّمْ فَصَلِّهْ، فَقَالَ لَنَا: قَدِّمُوا رَجُلًا مِنْكُمْ يُصَلِّي بِكُمْ، وَسَأُحَدِّثُكُمْ لِمَ لَا [ص:163] أُصَلِّي بِكُمْ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ زَارَ قَوْمًا فَلَا يَؤُمَّهُمْ، وَلْيَؤُمَّهُمْ رَجُلٌ مِنْهُمْ».
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Muslim bin Ibrahim] telah menceritakan kepada kami [Aban] dari [Budail] telah menceritakan kepada saya [Abu 'Athiyyah mantan sahaya kami] dia berkata; [Malik bin Huwairits] pernah mengunjungi kami di mushalla kami ini, lalu tatkala iqamat shalat telah dikumandangkan, kami berkata kepadanya; Maju dan jadilah imam shalat. Namun dia berkata kepada kami; Pilihlah salah seorang dari kalian untuk shalat mengimami kalian dan saya akan menceritakan kepada kalian mengapa saya tidak mau mengimami kalian, saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang mengunjungi suatu kaum maka janganlah dia mengimami mereka, akan tetapi hendaklah yang mengimami mereka adalah salah seorang dari mereka."
Imam at-Tirmidzi berpendapat, menurut para ahli ilmu dari golongan sahabat Nabi saw dan selainnya berpendapat tentang perbuatan ini. Mereka berkata; “Sho>hibul Munzi>l (penduduk asli) itu lebih berhak menjadi seorang imam dari pada seorang pendatang”. Dan sebagian ahli ilmu juga berkata atau berpendapat “ketika adzan dikumandangkan maka kamu tidak apa-apa melaksanakan sholat”, dan Ishaq juga berkata tidak boleh seorangpun dari Shibul Munzil melakukan sholat ketika masih adzan dikumandangkan, ia juga berkata hal tersebut juga tidak  boleh  dilakukan dimasjid-masjid bagi seorang pendatang, ia berkata; “sholaylah kalian kepada tuhan kalian”, dan ia berkata di Muntafa’, kebanyakan ahli ilmu memperbolehkan ataupun tidak mempermasalahkan seorang pendatang menjadi seorang imam sholat, sebab sudah mendapat izin dari penduduk setempat (pemimpin dari tempat itu). Karena Rasulullah saw berkata dalam haditsnya Ibnu Mas’ud إلا بإذنه kecuali tida diberi izin oleh penduduk setempat.
Dalam hadits diatas menunjukkan sebuah larangan bagi seorang pendatang ataupun tamu menjadi imam sholat di suatu masjid/ musholla, meskipun dalam halnya seorang tamu atau pendatang tersebut ahli dalam membaca al-Qur’an atau ‘Alim dalam soal agama, meskipun dalam keriteria imam yang baik yakni pashih dalam membaca al-Qur’an ataupun ‘Alim. Namun hal tersebut gugur karena dia merupakan seorang pendatang disuatu daerah tersebut. Pendatang boleh menjadi seorang imam manakala masyarakat ataupun imam tetap yang ada didaerah tersebut memberikan izin kepadany unutk menjadi imam sholat.
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ فُضَيْلُ بْنُ حُسَيْنٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا طَلْحَةُ بْنُ يَحْيَى بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ حَدَّثَتْنِي عَائِشَةُ بِنْتُ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ قَالَتْ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ أَوْ جَاءَنَا زَوْرٌ قَالَتْ فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ أَوْ جَاءَنَا زَوْرٌ وَقَدْ خَبَأْتُ لَكَ شَيْئًا قَالَ مَا هُوَ قُلْتُ حَيْسٌ قَالَ هَاتِيهِ فَجِئْتُ بِهِ فَأَكَلَ ثُمَّ قَالَ قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا قَالَ طَلْحَةُ فَحَدَّثْتُ مُجَاهِدًا بِهَذَا الْحَدِيثِ فَقَالَ ذَاكَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يُخْرِجُ الصَّدَقَةَ مِنْ مَالِهِ فَإِنْ شَاءَ أَمْضَاهَا وَإِنْ شَاءَ أَمْسَكَهَا
Artinya: “Dan Telah menceritakan kepada kami [Abu Kamil Fudlail bin Husain] telah menceritakan kepada kami [Abdul Wahid bin Ziyad] telah menceritakan kepada kami [Thalhah bin Yahya bin Ubaidullah] telah menceritakan kepadaku [Aisyah binti Thalhah] dari [Aisyah] radliallahu 'anha, ia berkata; Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadaku: "Wahai Aisyah, apakah kamu mempunyai makanan?" Aisyah menjawab, "Tidak, ya Rasulullah." Beliau bersabda: "Kalau begitu, aku akan berpuasa." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun keluar. Tak lama kemudian, saya diberi hadiah berupa makanan -atau dengan redaksi seorang tamu mengunjungi kami--. Aisyah berkata; Maka ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kembali saya pun berkata, "Ya Rasulullah, tadi ada orang datang memberi kita makanan dan kusimpan untuk Anda." Beliau bertanya: "Makanan apa itu?" saya menjawab, "Kuwe hais (yakni terbuat dari kurma, minyak samin dan keju)." Beliau bersabda: "Bawalah kemari." Maka kuwe itu pun aku sajikan untuk beliau, lalu beliau makan, kemudian berkata, "Sungguh dari pagi tadi aku puasa." Thalhah berkata; Saya menceritakan hadits ini kepada Mujahid, lalu ia berkata, "Hal itu seperti halnya seorang laki-laki yang mengeluarkan sedekah. Jika ingin, ia akan mengeluarkannya, dan jika tidak, maka ia akan menahannya”.

عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ قَالَتْ فَخَرَجَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ أَوْ جَاءَنَا زَوْرٌ فَلَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِيَتْ لَنَا هَدِيَّةٌ أَوْ جَاءَنَا زَوْرٌ وَقَدْ خَبَّأْتُ لَكَ شَيْئًا قَالَ مَا هُوَ قُلْتُ حَيْسٌ قَالَ هَاتِيهِ فَجِئْتُ بِهِ فَأَكَلَ ثُمَّ قَالَ قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا) وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى قَالَتْ (دَخَلَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قُلْنَا لَا قَالَ فَإِنِّي اذا صَائِمٌ ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ قَالَ أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا فَأَكَلَ) الْحَيْسُ بِفَتْحِ الْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ هُوَ التَّمْرُ مَعَ السَّمْنِ وَالْأَقِطِ وَقَالَ الْهَرَوِيُّ ثَرِيدَةٌ مِنْ أَخْلَاطِ وَالْأَوَّلُ هُوَ الْمَشْهُورُ والزور بِفَتْحِ الزَّايِ الزُّوَّارُ وَيَقَعُ الزَّوْرُ عَلَى الْوَاحِدِ

Hadits diatas menjelaskan tentang kebolehan untuk puasa nafilah (dianjurkan) pada siang hari, hadits tersebut menunjukkan banyaknya pintu-pintu kebaikan untuk menuju syurga, ada yang bersifat muqayyad (terikat) dan adapula yang bebas, adapun ibadah yang terikat dengan waktu ialah: puasa 6 hari pada bulan syawal, puasa arafah, puasa asyura’, puasa senin dan kamis. Dan termasuk puasa mutlak merupakan sabda Rasulullah saw yang termaktub dalam kitab hadits arbain an-Nawawi:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ، أَخْبِرْنِيْ بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِيْ الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِيْ عَنِ النَّارِ، قَالَ: لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ، وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ: تَعْبُدُ اللهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ وَتَحُجُّ الْبَيْتَ. ثم قال: أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ اَلصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ، وَصَلاَةُ الرَّجُلِ فِيْ جَوْفِ اللَّيْلِ. ثُمَّ تَلاَ- تَتَجَافَى جُنُوْبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ – حَتَّى بَلَغَ – يَعْمَلُوْنَ – ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ اْلأَمْرِ وَعَمُوْدِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: رَأْسُ اْلأَمْرِ اْلإِسْلاَمُ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةَ، وَذَرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ، ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكَ بِمَلاَكِ ذَلِكَ كُلِّهِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَارَسُوْلَ اللهِ، فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. قُلْتُ: يَانَبِيَّ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أَمُّكَ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ – أَوْ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ. رواه الترمذي وقال: حسن صحيح.
Artinya: “dari Muadz bin Jabal ra telah berkata: “Aku telah berkata; “ya Rasulullah beritahukanlah padaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke syurga dan menjauhkan ku dari neraka”. Nabi saw menjawab: “Engkau telah bertanya tentang perkara yang besar, dan sesungguhnya itu adalah ringan bagi orang yang dimudahkan oleh Allah SWT; Engkau beribadah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, mengerjakan sholat, membayar zakat, berpuasa Ramdhan, dan haji ke Baitullah, kemudian beliau berkata: “Maukah kutunjukkan pintu-pintu kebaikan?” puasa adalah prisai, shadqah dapat menghapuskan kesalahan sebagaimana air dapat memadamkan api, dan seseorang yang sholat di sepertiga malam, kemudian membaca ayat-ayat al-Qur’an: “(Lambung-lambung mereka jauh ditempat tidur hingga ayat mereka mengamalkan)” Raulullah kemudian bersabda: “Maukah aku kabarkan kepalanya urusan, tiang dan puncaknya” Aku katakan: “Wahai Rasulullah”, beliau bersabda: “kepalanya satu urusan adalah Islam (Syahadatain), tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah”’ kemudian berkata lagi: “Maukah aku kabarkan inti dari semua itu? Aku katakan: “Ya, wahai Rasulullah”, beliau memegang lisannya dan berkata: “Tahanlah lisanmu”, Aku katakan: “wahai Rasulullah apakah kita akan diadzab karena ucapan yang kita ucapkan, Rasulullah menjawab: “Tsakilatka umuk, bukankah manusia tersungkur ke neraka diatas hidung mereka tidak lain karena hasil dari ucapan mereka.  
Kesimpulan 
Dari beberapa hadits yang menerangkan tentang ziaroh diatas, disini kita dapat menegtahui bahwa kata ziaroh bisa dipakai atau diartikan dari berbagai macam aspek. Karna kata ziaroh sendiri itu berarti kunjungan, dalam istilah Jawa kata ziaroh juga dapat diartikan sebagai Sowan, berbeda dengan istilah ziaroh yang berasal dari tradisi Islam itu sendiri. Sowan dalam istilah Jawa lebih bermakna lokal yang berbasis pada tradisi atau kebiasaan masyarakat Jawa sendiri.
Pada zaman sekarang ini, seperti yang kita ketahui bersama kata ziaroh lebih di identikan dengan makna pengunjungan makam atau kuburan itu sendiri, namun pada dasarnya makna ziaroh itu sendiri maknanya sangat luas, artinya makna kata ziarah sendiri tidak hanya diartikan satu aspek saja (Kunjungan ke Makam).
Makna kata ziarah dengan silaturrahim apabila kita lihat secara universal tidak beda jauh maknanya, ziarah bermakna berkunjung kepada orang lain (sahabat ataupun bukan sahabat, sedangkan menyambung tali persaudaraan antara satu orang dengan orang lain, tentunya kedua hal tersebut merupakan suatu perbuatan yang baik.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam Muslim - Ibnu Sholah - Asy-Syahid, Shahih Muslim - Shiyanatu Shahih Muslim - 'Ilalu Ahadits fii Kitab ash-Shahih, (Beirut, penerbit; Baitul Afkaar ad-Dauliyyah, 1998).
Abdillah, Abi Muhammad bin Isma>’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhori, (Riad, penerbit: Baitul Afkar ad-Dauliyah, 1998), bab I’tika>f, 1167.

Al-Atsqolani, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Fathul Bari, (kairo: Darul Hadist 2004), juz 4, 327

Al-Atsqolani, Ahmad bin ‘Ali bin Hajar, Fathul Bari, (kairo: Darul Hadist 2004), juz 3, 643-644

As-Suyuthi, Jalaluddin, Syuru>h Sunan Ibn Majah, (Beirut, Lebanon, penerbit: Baitul Afkar ad-Dauliyah, 2007).

An-Nawawi, Al-majmu’ Syarah al-Muhadzzab, (Bandung, Cileunyil, Pustaka Azzam,).

An-Nawawi, Terjemah al-Arba’in an-Nawawiyah, (Jakarta timur, Pustaka Arafah, 2018),

As-Suyuthi, Syuruh Sunan Ibnu Majah, (Baitul Afkar ad-Dauliyyah, 2007).

Depdikbut, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998).

Hasanuddin, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (jakarta, 24 oktober 2011),

Sulaiman, Abu Dawud Ibn al-Asy’ats as-Sijistany, Sunan Abi Daud, (Beirut: Darul Hadits, 1999).

Syaroful Haq, Abu Abdirrahman al-‘Aazhim Aabadi, ‘Aunul Ma’bud ‘ala Syarhi Sunan Abi Daud, (cet pertama; Daar Ibnu Hazm, 2005).

Syuhud, Ahmad fatih, Ahlussunnah Wal Jamaah. (Malang: 2017).

Wensinck, Arnold Jhon, Mu’jam al-mufahros li Alfa>z al-Hadi>ts an-Nabawi>’an al-Kutub al-Sittah wa ‘an Musnad ad-Darimi, wa Muwattha’ al Mali>k wa Musnad Ahmad bin Hanbal, (Istanbul, Da>r al-Da’wah, 1986).

Yazid, Abd. Abi Muhammad Ibn, Sunan Ibnu Majah, bab jenazah 48, (Kairo: Darul Hadits, Februari 1998).

Zakariya, Abu Yahya bin Syarof an-Nawawi, Al-Minhaj fii Syarhi Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, (Beirut, penerbit; Baitul Afkar ad-Dauliyyah).

Komentar

Unknown mengatakan…
Masyaallah teruslah berbagi ilmu Al Qur'an sobat