Penulis : Zainul Aripin
Dalam buku The Qur’an: A Short Introduction, Esack mengkategorisasikan pembaca teks Al-Qur’an –yang kemudian ia sebut pencinta-- menjadi tiga tingkatan: pencinta tak kritis (the uncritical lover), pencinta ilmiah (the scholarly lover), dan pencinta kritis (the critical lover). Tiga stratifikasi itu dibangun Esack dengan menggunakan analogi hubungan the lover and body of a beloved (pencinta dan tubuh seorang kekasih). The lover dan body of a beloved, masing-masing diwakili pembaca teks Al-Qur’an dan teks Al-Qur’an.1 2
_Pertama_ , pencinta tak kritis (the uncritical lover). Pada kategori pertama ini, sang pencinta begitu terpesona dengan “kecantikan” wajah sang kekasih, sehingga tidak ada sedikit pun ruang yang mampu dia kritisi. Dia menganggap bahwa apa yang ada dalam diri kekasihnya itu adalah yang terbaik dari semua yang ada. Tidak ada yang lebih cantik dan lebih mempesona daripada kekasihnya.
Dalam konteks pembaca al-Qur’an, pencinta tak kritis selalu meyanjung, memuji dan memuja al-Qur’an. Baginya, al-Qur’an adalah segala-galanya. Al- Qur’an adalah ‘sosok’ suci yang tak boleh dipertanyakan apalagi dikritisi. Dalam pandangannya, al-Qur’an adalah solusi atas setiap masalah, jawaban atas seluruh persoalan. Meskipun ia sendiri tidak pernah tahu bagaimana proses untuk memperoleh jawaban tersebut. Singkatnya, bagi pencinta tak kritis ini, al- Qur’an diposisikan pada suatu tempat yang sangat tinggi. Sehingga, seringkali karena tingginya posisi al-Qur’an tersebut, ia tidak dapat menjangkau makna terdalam yang sangat berharga dari al-Qur’an tersebut.
Mereka juga menggunakan al-Qur’an dalam beragam aspek kehidupan, seperti menggunakan ayat tertentu untuk pengobatan, penyemangat hidup, penghindar dari bahaya dan sebagainya. Kedua, pencinta ilmiah (the scholarly lover). Kategori _kedua_ ini adalah mereka, yang meskipun mencintai sang kekasih, tetapi tetap bersifat rasional. Mereka, dengan kecerdasan yang dimilikinya berusaha untuk tidak ‘cinta buta’ kepada sang kekasih. Ada ruang untuk melihat lebih jauh sang kekasih dengan mengajukan sejumlah pertanyaan, untuk memastikan bahwa kekasihnya tersebut memang layak untuk dicintai.
Dalam ranah al-Qur’an, sang pencinta model kedua ini adalah mereka yang terpesona dengan keindahan al-Qur’an, tetapi tidak menjadikan mereka lupa untuk mengkaji lebih jauh aspek keindahan atau mukjizat al-Qur’an tersebut dari sisi ilmiah. Mereka, dengan kecerdasan dan kemampuan intelektual yang mereka miliki, berusaha untuk mengkaji al-Qur’an secara ilmiah. Sejumlah pertanyaan pun diajukan untuk meneliti sisi i‘jaz atau keistimewaan al-Qur’an. Mereka mengkaji tentang aspek keindahan al-Qur’an, baik dari sisi bahasa, susun redaksi kalimatnya, sejarahnya, hingga isyarat- isyarat ilmiah yang terkandung di dalamnya.
Hasil dari kajian ilmiah tersebut kemudian mereka tuangkan dalam karya-karya ilmiah seperti tafsir serta buku-buku ilmiah lainnya yang mengkaji al-Qur’an. Mereka yang melakukan hal ini, misalnya: Jalal al-Din Al-Suyuti, Badr al-Din Al-Zarkashi, Al-Dhahabi, Husain Tabataba'i, dan sejumlah ilmuan muslim lainnya.
_Ketiga_ , pencinta kritis (the critical lover). Kategori ketiga ini adalah mereka yang meski terpesona dengan kekasihnya, sangat mencintainya, tetapi tetap kritis untuk mempertanyakan hal-hal yang dianggap ‘janggal’ dalam diri kekasihnya. Kecintaannya kepada sang kekasih tidak membuatnya ‘gelap mata’. Mereka akan mencari tahu hal-hal yang membuat mereka terpesona, juga yang membuat mereka ‘mengernyitkan dahi’. Hal ini mereka lakukan karena rasa cinta yang begitu mendalam kepada sang kekasih.
Sang pencinta yang kritis akan memosisikan al-Qur’an tidak sekedar sebagai kekasih yang sempurna tanpa cela, tetapi menjadikannya objek kajian yang sangat menarik. Demi mengetahui banyak hal yang ada dalam al-Qur’an, sang pencinta mau menggunakan perangkat ilmiah modern seperti hermeneutika, linguistik, antropologi, sosiologi, psikologi, bahkan filsafat sebagai pisau analisisnya. 25/11/2019
Komentar